Hari Kelahiranku

Bunda melahirkan diriku tepat pada hari ini. Tepat pada hari ini, tujuh belas tahun yang lalu, kesunyian meletakkan diriku ditengah-tengah lengan-lengan kehidupan. Yang sarat dengan isak tangis, peperangan, serta pergaulan.

Begitulah tujuh belas kali sudah diriku menapaki jalan mengitari sang mentari. Tetapi, diriku tidak mengerti telah berapa kali rembulan mengitari diriku. Toh, begitulah diriku pun belum bisa mengungkap tirai-tirai rahasia kehidupan. Dan, diriku belum mengenali benda kesuraman yang tersembunyi.

Telah tujuh belas kali diriku menapaki jalan mengiringi bumi, rembulan, juga mentari serta planet mengelilingi Hukum Jagad Raya.

Maka perhatikan jiwaku saat ini. Ia berbisik mengenai nama Hukum itu bagaikan lorong menggemakan derai ombak lautan. Jasadnya berada didalam raganya. Tetapi tuk mengerti inti-Nya. Ia bersenandung lagu pasang surut-Nya. Tetapi ia tak mengerti tentang Diri-Nya.

Sejak tujuh belas tahun yang lalu tangan sang waktu menorehkan diriku laksana sepatah kata di kertas asing dunia yang menakutkan ini. Lantas, perhatikan diriku saat ini, sepatah kata yang artinya tak jelas dan membuat bingung. Terkadang memiliki arti berbagai macam.

Tepat pada hari ini, setiap tahun gagasanku, renunganku, serta memoriku saling berdesakan di dalam nuraniku. Mereka bangkit berdiri di depanku laksana iring-iringan haru yang telah lalu. Lantas mereka memperlihatkan kepada diriku setan malam yang telah lama mati. Kemudian, mereka berpencar layaknya udara memisahkan awan-awan yang tersesat di senjakala. Mereka mengkerut kecil dan menjadi redup di sudut ruangku layaknya lagu sungai di lembah-lembah yang senyap dan jauh.

Tepat pada hari ini, pada setiap tahunya, jiwa itulah yang telah menjadikan jiwaku berbentuk. Ia segera munuju padaku dan segenap penjuru dunia. Melingkupi diriku dengan senandung kenangan yang memilukan.

Lantas, secara hati-hati mereka berlalu dan bersembunyi di balik benda yang tak terlihat oleh mata. Mereka bagaikan geombolan burung yang turun di atas sebuah papan penebahan yang di tinggalkan dan tak menjumpai benih padi-padian di tempat itu. mengawang-awang sesaat sebelum terbang kambali ke daerah lainnya.

Tepat pada hari ini, arti kehidupan masa laluku memberontak di depanku layaknya sebuah cermin suram yang kutatap lama tetapi tak bisa menampakkan apapun disana, kecuali wajah tahun lalu yang pucat seperti mayat. Dan roman muka orang tua renta.

Dan, diriku menatap wajah itu dan menyaksikan suatu kepedihan disana. Kuperiksa kepedihan itu dan diriku menemukan ia telah bisu. Ia tak mampu berkata-kata. Ia Nampak lebih cantik daripada kegembiraan.

Telah banyak yang kusayangi selama tujuh belas tahun. Dan, telah banyak pula yang kusayangi hanya karena di benci oleh orang-orang. Dan tak jarang pula diriku membenci sesuatu yang justru dikagumi oleh banyak orang. Semua yang telah kusayangi bagaikan anak saat ini tak pernah berhenti diriku menyayanginya. Dan, semua semua yang kusayangi ini akan tetap kusayangi hingga kematian menjemput diriku. Sebab sayang adalah semua yang bisa kugapai dan tidak aka nada yang mengambilnya dari diriku dari dirinya.

Berulang kali diriku menyayangi kematian dan menyambutnya dengan sebutan yang indah serta mencumbunya di mana pun. Baik di tempat rahasia maupun di muka umum . kehidupan juga telah kusayangi. Sebab, kematian dan kehidupan adalah satu untukku dalam keindahan, sederajat dalam kebahagiaan, serta pasangan dalam kerinduan serta hasratku yang tumbuh. Keduanya telah berbagi antara cinta dan kelembutan.

Diriku telah menyayangi kebebasan dan sayangku tumbuh disertai dengan tumbuhnya pengetahuan mengenai penjajahan, hanya untuk perbudakan serta kebohongan. Dan ia telah menular disertai kemengertianku mengenai kepatuhan mereka terhadap petung-patung yang dibuatkan oleh abad kesuraman dan dipelihara oleh perbudakan juga dipelitur oleh sentuhan bibir yang menyembahnya.

Tetapi diriku pun menyayangi budak itu denga sayangku yang terbelenggu. Ya, diriku mengasihaninya sebab mereka tak mampu melihat dan telah mengecup bibir berdarah dari seekor binatang tetapi tak segera sadar. Dan mereka menghirup racun ular berisa tetapi tak merasainya. Mereka menggali makam sendiri dengan kuku dijari-jemarinya tetapi tak mengetahui.

Diriku menyayangi kebebasan sebab telah kujumpai dirinya yang berwujud seorang dara yang terasing. Penuh dengan penderitaan dan menjadi setan gentayangan di tengah-tengah gedung megah. Ia tegak berdiri di jalanan dan menyuruh setiap orang yang melintas, tetapi mereka tak mendengar apalagi memperhatikan dirinya.

Telah tujuh belas tahun diriku mencintai rasa bahagia seperti yang dipunyai semua orang. Diriku telah menjadi biasa bangun setiap pagi dan berusaha mencari seperti mereka, telah mencari dirinya. Namun diriku tidak melihat setiap jejak langkah tapak kakinya pada tanah di luar rumah megah mereka. Diriku pun tidak mendengar gaung dari suara yang berseru dari dalam tempat ibadah mereka.

Tetapi, ketika diriku mencari ke dalam kesunyian, diriku mendengar denga samar hatiku berbisik ke dalam telingaku, seraya berkata, “Kebahagiaan itu seorang anak yang terlahir dan telah dibawa ke kehidupan di dasar nurani. Ia tidak bersumber dari kehampaan.”

Dan, ketika diriku membuka jiwaku hanya sekedar untuk mengetahui kebahagiaan, maka disana diriku mendapati cermin dan tempat tidur juga busana. Dirinya sendiri tak kujumpai.

Diriku telah mencintai semua orang. Telah banyak yang diriku mencintai mereka. Dalam pandanganku terdapat tiga manusia. Seseorang yang mengutuk kehidupan seseorang yang memberkati seorang perenung. yang pertama, diriku mencintai oleh sebab rasa putus asa. Yang kedua, oleh sebab kedermawanan. Yang terakhir, oleh karena rasa pengertian.

Begitulah tujuh belas tahun telah berlalu. Lantas lewatlah hari demi hariku dan malam demi malamku. Saling susul menusul. Yang satu menyertai yang lain. Gugur dari pohon kehidupankuseperti daun-daun sebatang pohon yang diterpa oleh angin musim gugur.

Dan pada saat ini, diriku tegak berdiri mengenangkan bagaikan seorang pengelanayang telah letih. Ia berdiri di tengah jalanan pada sebuah tanjakan. Dan diriku memalingkan muka kian kemari tetapi tak mempu menyaksikan sesuatu apa pun di dalam masa lalu kehidupanku yang mampu membuat diriku menjadi bangga di depan sang surya dan berkata, “Inilah diriku.”

Dan diriku mendapati di dalam musim dari tahun dalam diriku panen apa pun juga kecuali lembaran yang dihiasi oleh tetes-tetes tinta hitam. Juga gambar-gambar yang sarat dengan garis serta warna, yang selaras.

Di dalam lembar halaman dan gambar yang kacau balau itu diriku telah memendam dan diriku makamkan perasaan, gagasan, serta impianku. Layaknya petani membenamkan benih-benih di dalam sawahnya.

Tetapi petani yang datang dan menebarkan benih-benihnya di tanah akan pulang ke rumahnya saat senja tiba diiringi suatu harapan dan penantian musim panen akan segera menjelang. Berbeda denga diriku. Sebab benih-benih telah kumuntahkan dari jiwaku dan tak ada harapan di sana. Tak ada sebuah penantian pula.

Dan saat diriku melihat masa yang telah lalu dari balik kerudung masa lampau. Diriku berdiri dan menatap kehidupan dari jendela kamarku.

Diriku memandang setiap paras orang dan mendengar suara mereka melengking tinggi ke udara. Diriku mendengar jejak langkah kaki mereka di tengah rumah hunian dan merasakan balaian jiwa mereka, serta deburan dari semangat mereka serta kerinduan hati mereka.

Diriku menyaksikan anak-anak kecil tengah bermain dan berlarian. Mereka berloncatan dan saling melemparkan gumpalan-gumpalan tanah seraya tertawa dengan riang.

Dan, diriku menyaksikan para pemuda itu menapakkan kakinya dengan tetap. Kepalanya ditengadahkan seakan-akan mereka hendak membawakan syair yang di tulis untuk anak muda pada pinggir-pinggir awan yang di beri garis dengan sang mentari. Dan, para gadis yang tengah menyusuri jalan melenggang seperti ranting-ranting muda yang tersenyum bagai bunga. Seraya mereka menatap pemuda itu dari sudut-sudut mata yang berkedip bersama cinta dan gairah.

Diriku menyaksikan para orang tua dalam hening dengan badannya yang telah bungkuk, mereka bertumpu pada tongkat seraya menatap tanah. Seakan-akan sedang mencari di antara celah-celah tanah sebuah batu permata mereka yang telah lama hilang.

Lantas diriku pun berdiri di tepi jendela kamarku, serta menyaksikan juga memikirkan citra dan bayangan ini dalam perjalanan kebekuannya yang melewati jalan dan sudut-sudut kota.

Lantas diriku menatap ke seberang desa dan melihat rimba raya dalam keelokannya yang maha luas dan kediamannya yang penuh dengan suara. Juga bukit-bukit kecil yang menjulang, dan lembah juga ngarai yang sempit. Pohon-pohon tegak dan rumput-rumput bergoyang gemulai dan bunga semerbak. Sungai bernyanyi riang dan kawanan burung berkicau nyaring.

Diriku menatap ke seberang rimba raya. Diriku menyaksikan laut lepas dengan kedalaman yang tereamat mengagumkan dan membuat heran. Menyembunyikan rahasia dan benda yang terpendam. Debur ombaknya yang berbuih ptih dan amukan dan cmoohannya. Memercikkan dan berbusa. Naik dan turunnya. Segala hal itu telah kulihat.

Dan diriku menatap seberang lautan, dan merasakan angkasa tanpa batas, beserta planet yang melayang-layang di angkasa. Juga bintang gemintang serta matahari dan rembulan yang memancarkan sinarnya yang gemilang. Dan, planet-planet serta bintang yang tetap. Juga segala daya yang menentang dan menyatukan dari daya tarik dan daya tolak telah pula kulihat. Taat kepada semua aturan Hukum Agung yang tanpa berawal juga tanpa akhir.

Melewati jendelaku diriku melihat dan memikirkan benda ini serta diriku melupakan usia tujuh belas tahunku, dan abad yang telah mendahuluiku serta abad yang akan mengikuti. Serta, ragaku juga kehidupan terwujudkan di depanku, timbul tenggelam. Seperti hantu dari seorang anak kecil yang mengeluh, gemetar di keluasan angkasa yang lestari. Dan diriku merasakan eksistensi setan, ruh, inti diriku yang kusebut “AKU.” Aku merasakan sesuatu yang menggemparkan dan mendengar keramaiannya. Saat ini ia mengepakkan sayapnya ke angkasa dan mengulurkan lengannya ke segenap penjuru dan berayun-ayun gemetar pada hari ini, yang membimbing ke arah kehidupanku. Saat ini dengan suara yang bersumber dari kesuciannya yang paling suci, ia merintih.

“Kedamaian, O kedamaian. Kedamaian, O yang telah terjaga. Kedamaian, O penglihatan.

“Kusampaikan salam kepada dirimu, O siang hari, yang sinarnya menundukkan kesuraman dunia. Kesampaikan salam kepada dirimu, O malam hari, yang kesuramannya menyingkirkan sinar dari cakrawala.

“Kusampaikan salam pada dirimu, duhai musim semi. Yang memperbarui keremajaan tanah pertiwi. Musim panas, yang membuat keindahan sang mentari menjadi lebih kaya. Salam juga kusampaikan pada musim gugur, yang memberikan hasil kerja serta upah kerja keras. Kepada musim dingin yang telah membawakan kembali segenap daya alam di dalam praharanya.

“Kepada tahun yang telah menyingkirkan dari yang telah disembunyikan. Kepada abad yang telah memperbaiki kesalahan abad: salam.

“Kedamaian, O, sang waktu, yang membawa kami lebih maju menuju kesempurnaan. Dan, damai untukmu, ruh-ruh yang menuntun, yang menguasai kehidupanku. Yang bersembunyi dari diriku di balik jilbab sang mentari.

“Damai dan salam bagimu, O, nurani, oleh sebab dirimu bertapa seraya menguasai dengan tangisan.

“Juga, untuk dirimu, duhai bibir, salam dan damailah oleh sebab sebenarnya dirimu yang menyampaikan kedamaian seraya tetap merasakan kegetiran.”

Komentar

Postingan Populer